Tag Archives: b3
Bagaimana Cara Mengelola Limbah Berbahaya ?
Limbah beracun dan berbahaya (B3) yang dihasilkan wajib diolah kembali agar aman bagi lingkungan hidup.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2014, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengolahan limbah B3 yang dihasilkannya. Meskipun pengurangan dan daur ulang limbah sudah marak dilakukan oleh berbagai pihak, metode itu bukan yang terbaik untuk penanggulangan limbah B3. Pengolahan dan penyimpanan limbah B3 harus dilakukan untuk tidak merusak lingkungan hidup sekitar.
Metode penanganan limbah B3
Beberapa metode untuk menangani limbah B3 diantaranya:
1. Metode Kimia (Chemical Method)
Pertukaran ion, pengendapan, oksidaksi, dan pengurangan adalah metode-metode yang masuk ke kategori metode kimia yang bertujuan untuk merubah bentuk limbah menjadi gas tidak beracun atau merubah sifat limbah menjadi netral atau tidak berbahaya.
2. Metode Termis (Thermal Method)
Metode termis adalah metode yang paling banyak digunakan untuk mengatasi limbah berbahaya ini, dimana penggunaan mesin insenerator digunakan. Di mesin insenarator, limbah di bakar hingga menjadi karbon dioksida, uap air, dan butiran debu.
3. Metode Biologis (Biological Method)
Menurut Zhang et al, 2017, metode biologis ini menggunakan sistem biologis natural atau buatan, Bersama dengan organisme hidup untuk menangani limbah B3.
4. Metode Fisik (Physical Method)
Metode fisik ini meliputi pemisahan komponen atau wujud limbah, tanpa merubah bentuk fisik dari limbah tersebut. Metode fisik ini biasa digunakan untuk memisahkan material dari limbah, yang nanti dikelompokan untuk digunakan kembali dan di netralkan dari racun. Filtrasi, sedimentasi, dan evaporasi merupakan tekhnik yang digunakan dalam metode fisik ini.
Mengingat tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam mengolah limbah B3 yang berbahaya bagi lingkungan ini, maka kurangilah pemakaian barang-barang yang termasuk limbah B3 untuk menjaga kelestarian lingkungan kita.
Ini Alasan Limbah Baterai Bekas Tidak Boleh Dibuang Sembarangan
Setiap rumah tangga pasti menggunakan baterai untuk keperluan sehari-hari yang akan menghasilkan limbah baterai atau baterai bekas, limbah baterai sesungguhnya termasuk limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Namun, masih banyak yang belum mengetahui bagaimana bahaya baterai bekas tersebut. Sehingga ketika sudah tidak terpakai langsung dibuang ke tempat sampah, bercampur dengan sampah rumah tangga lainnya.
Padahal, baterai itu mengandung unsur-unsur yang membahayakan lingkungan maupun diri kita sendiri. Lalu, seperti bahaya baterai?
Limbah B3 yang terdapat dalam baterai membahayakan manusia dan lingkungan
Baterai terdiri dari 2 (dua) jenis utama yaitu Baterai primer yang hanya dapat digunakan sekali dan dibuang. Contohnya adalah baterai alkaline yang digunakan untuk senter maupun berbagai alat portabel lainnya. Jenis kedua adalah baterai sekunder yang dapat digunakan dan diisi ulang beberapa kali. Contohnya adalah baterai timbal-asam pada kendaraan dan baterai ion litium pada elektronik portabel.
Unsur-unsur berbahaya pada limbah baterai primer
Pada baterai primer terdapat unsur zinc, karbon, campuran MnO2 (Mangan Dioksida), serbuk karbon dan NH4Cl (Ammonium Klorida). Sedangkan baterai yang dapat diisi ulang mengandung cadmium , Nikel dan alkaline (potassium hidroksida).
Semua komponen-komponen penyusun baterai ini akan berdampak negatif bila mencemari lingkungan, misalnya kadmium dan mangan. Kenaikan konsentrasi kadmium dalam tanah akan memperbesar penangkapan unsur logam tersebut oleh tanaman dan selanjutnya memasuki rantai makanan. Dampak yang muncul apabila keracunan logam kadmium adalah tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, kehilangan sel darah merah, gangguan lambung serta kerapuhan tulang.
Mangan dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan keracunan dan kerusakan saraf pada manusia.
Lalu, bila keracunan mangan maka akan terjadi halusinasi, pelupa serta keracunan saraf. Mangan juga dapat menyebabkan parkinson, emboli paru-paru dan bronkitis. Dalam jangka panjang, kelebihan mangan dapat mengakibatkan impoten. Suatu sindrom lain yang disebabkan oleh mangan adalah memiliki gejala seperti skizofrenia, kebodohan, lemah otot, sakit kepala dan insomnia.
Unsur-unsur berbahaya pada limbah baterai sekunder
Sedangkan dalam baterai sekunder seperti baterai Li-Ion yang kerap digunakan untuk ponsel, gawai, laptop, hingga kendaraan kecil maupun besar, di dalamnya terkandung unsur kimia lithium yang mudah bereaksi terhadap oksigen atau air, bahkan guncangan.
Selain itu ada unsur timah, asam sulfat, dan lainnya, yang akan membahayakan tubuh manusia. Jika terhirup akan menyebabkan penyakit seperti gangguan pernapasan, gangguan otak, bahkan impotensi, termasuk juga gangguan kehamilan dan janin pada perempuan.
“Itulah sebabnya, sampah baterai ini harus ditangani dengan baik dan benar agar tidak membahayakan lingkungan maupun masyarakat, termasuk diri kita sendiri,” ungkap Gufron Mahmud, Direktur Utama PT Arah Environmental Indonesia yang juga pemerhati lingkungan.
Langkah yang benar untuk menangani limbah B3 yang terdapat di dalam baterai
Menurut Gufron, ada beberapa langkah untuk menangani limbah B3 terutama baterai dengan baik dan benar dilingkungan sekitar kita.
Yang pertama sebenarnya adalah mensosialisasikan bahaya limbah baterai bagi kesehatan pada masyarakat.
- Mulailah untuk memisahkan limbah B3 seperti baterai bekas di rumah dengan meletakkannya di dalam wadah khusus dan terpisah dengan sampah lainnya.
- Kumpulkan semua limbah bahan beracun dan berbahaya di dalam tempat tertentu, misalnya di setiap satu RW ada satu tempat khusus untuk menampung sementara sampah berbahaya.
- Saat pengelola sampah datang untuk mengambil sebaiknya mereka juga sudah memiliki kesadaran untuk tidak mencampur sampah berbahaya dengan sampah lainnya
- Setelah itu limbah B3 ini dikirimkan ke tempat pengelola sampah B3 yang sudah memenuhi standar dan berizin.
Untuk itu, masyarakat dapat memanfaatkan solusi dari PT Arah Environmental Indonesia yang disebut dengan ECOFREN yakni sebuah solusi pengelolaan limbah dan sampah secara terpadu khusus untuk segmen bisnis dan sarana komersial.
“Kami bukan hanya melakukan pengambilan limbah B3, termasuk limbah baterai ini saja, tetapi juga mencakup perencanaan, perlengkapan dan pengemasan, pengangkutan, pengolahan, pelatihan dan konsultasi, serta penempatan sumber daya manusia (managed service) dalam mengelola limbah B3 secara tepat dan sesuai dengan standar pengendalian pencemaran lingkungan hidup,” ungkap Gufron.
Harapannya, tentu masyarakat semakin aware dengan limbah B3 yang di dalamnya juga termasuk baterai bekas dan menekan serendah mungkin pencemaran lingkungan akibat dari baterai bekas ini.
Smartphone Bekas jadi Bahan Utama Medali Olimpiade
Tahun depan, Jepang akan menjadi tuan rumah dari perhelatan olahraga skala internasional yakni Olimpiade Tokyo 2020. Berbagai persiapan dilakukan oleh Negeri Sakura, salah satu yang menarik perhatian dunia adalah mengubah smartphone bekas menjadi medali olimpiade.
Panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020 berkomitmen akan menggunakan materi daur ulang dari smartphone bekas dan sampah elektronik lain untuk bahan pembuatan medali yang mencapai 5.000 medali emas, perak dan perunggu.
Keputusan ini cukup berisiko sekaligus menginspirasi banyak pihak. Pasalnya, bahan yang didaur ulang merupakan sampah elektronik atau e-waste yang merupakan salah satu jenis bahan berbahaya dan beracun.
Tapi, ini juga bisa menginspirasi karena sampah elektronik seperti smartphone bekas, kamera digital, handheld game sampai laptop masih bisa dimanfaatkan apabila dikelola dengan baik. Salah satu contohnya adalah medali olimpiade.
Sampah elektronik sendiri setiap tahunnya terus bertambah. Berdasarkan data dari PBB, masyarakat dunia itu menghasilkan 44,7 juta ton sampah elektronik pada 2016, angka yang terus menanjak antara 3% hingga 4% setiap tahun. Sampai 2021 nanti, jumlah sampah elektronik diperkiraan mencapai 52 juta ton.
Nah, kalau ada inisiatif seperti yang dilakukan panitia Olimpiade Tokyo 2020, tentu akan sangat membantu dalam mengelola sampah elektronik yang sebenarnya termasuk Bahan Berbahaya dan Beracun atau limbah B3.
Minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai bahayanya limbah B3
Di Indonesia sendiri, pengetahuan terhadap e-waste ini masih sangat minim. Sekarang mari kita lihat di rumah masing-masing, ada berapa banyak smartphone yang sudah tidak terpakai namun masih disimpan, dua, tiga atau lebih dari itu? ‘Teronggok’ begitu saja di sudut rumah.
Padahal, smartphone termasuk Bahan Berbahaya dan Beracun atau limbah B3. Beberapa bahan berbahaya yang terdapat pada smartphone bekas adalah Arsenic, PCBs dan Kadmium.
Arsenic misalnya, risiko yang bisa ditimbulkannya bukan semata gangguan metabolisme di dalam tubuh manusia ataupun hewan, ini juga dapat mengakibatkan keracunan bahkan kematian.
Lalu ada PCBs yang akan membuat persisten di lingkungan, dan mudah terakumulasi dalam jaringan lemak manusia dan hewan. Akibatnya, mengganggu sistem pencernaan dan bersifat karsinogenik.
Kemudian Kadmium yang biasa digunakan untuk pelapisan logam, terutama baja, besi dan tembaga, bersifat iritatif. Dalam jangka waktu lama akan menimbulkan efek keracunan, dan gangguan pada sistem organ dalam tubuh manusia dan hewan.
Sampah smartphone juga diprediksi akan terus meningkat. Di Indonesia misalnya, berdasarkan data Canalys, jumlah smartphone yang dikapalkan ke Indonesia selama tahun 2018 mencapai 38 juta.
Sedangkan data dari Gartner menyebutkan bahwa secara global total volume penjualan smartphone mencapai 384 juta, mewakili 84 persen dari total penjualan perangkat ponsel.
Untuk penjualan semua ponsel, termasuk feature phone, Gartner mencatat angka 455 juta pada kuartal pertama 2018. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari total populasi Indonesia. Tapi, peningkatan ini tak bisa sepenuhnya disalahkan kepada konsumen.
Menurut Rosa Ambarsari, Kepala Seksi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, produsen dalam hal ini juga ikut bertanggung jawab atas hal ini.
“Jadi bukan saja terhadap emisi, effluent dan sampah yang dihasilkan selama proses produksi, tetapi juga memasukkan manajemen produk terhadap produk yang telah dibuang oleh konsumennya,” ujarnya.
Rosa menambahkan, selain produsen, distributor sampai industri rekondisi juga bertanggung jawab untuk mengelola sampah dan sampah yang dihasilkan, sesuai dengan Permen LH No.18/2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Sampah.
Penanganan limbah B3 harus dilakukan secara benar
Hal senada disampaikan oleh Gufron Mahmud, Direktur Utama PT Arah Environmental Indonesia yang juga pemerhati lingkungan. Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani sampah B3 seperti smartphone bekas dengan baik dan benar.
Dimulai dari memisahkan smartphone bekas dengan sampah rumah tangga lainnya, hingga mengumpulkannya ke dalam satu tempat khusus sebagai penampungan sementara. Misalnya di setiap RW ada tempat khusus. Setelah itu, smartphone bekas dapat dikirim ke tempat pengolahan sampah yang sudah memenuhi standar dan berizin.
“Kami sangat mendukung kebijakan pemerintah dengan mengambil peran dalam memberikan edukasi kepada para pihak yang menghasilkan sampah termasuk smartphone bekas. Dan untuk pengelolaan sampah seperti smartphone bekas yang ada di perumahan, apartemen, perkantoran atau perusahaan, kami memberikan solusi pengelolaan melalui layanan ECOFREN,” ungkap Gufron.
Sebagai perusahaan yang bertugas mengelola sampah dan sampah, Arah Environmental Indonesia (PT. ARAH) sendiri sudah memiliki izin seperti yang disyaratkan oleh pemerintah untuk perusahaan yang menyediakan solusi terpadu pengelolaan sampah dan sampah sesuai standar pengendalian lingkungan hidup.
Cegah Dampak Bahaya Lampu Merkuri Beralih ke LED
Meningkatnya penggunaan lampu pendar tak hanya mendatangkan kekhawatiran bagi lingkungan, tetapi juga manusia sebagai penghuninya. Betapa tidak, di dalam setiap lampu pendar terdapat 5 milligram mercury, baik berbentuk uap atau bubuk. Merkuri ini sendiri merupakan bahan kimia yang sangat berbahaya bagi metabolisme tubuh manusia.
Lampu pendar dan merkurinya sangat berbahaya bagi manusia
Uap raksa ini adalah neurotoksin, atau racun yang sangat berbahaya dan berakibat fatal pada otak dan ginjal. Jika terakumulasi dalam tubuh dapat merusak sistem syaraf, janin dalam kandungan, dan jaringan tubuh. Pada anak-anak, merkuri bahkan dapat mengakibatkan penurunan IQ, yang efeknya akan sangat berdampak hingga tua.
Mengerikan bukan? Karenanya, pengelolaan limbah lampu pendar secara baik pun dianggap sebagai solusi, jika tidak bisa mengurangi penggunaannya.
Di luar bahaya yang ditimbulkannya, lampu pendar sendiri, tak imungkiri memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah dapat menghemat pemakaian aliran listrik yang secara otomatis berdampak pula pada penghematan biaya rekening PLN. Umur lampu ini juga lebih panjang dibandingkan lampu pijar serta diharapkan dapat menghambat pemanasan global. Tak heran, jika penggunaannya begitu masif di luar sana.
Penggunaan lammpu pendar di Indonesia masih masif dan malah meningkat
Berdasarkan penelitian dari Puslitbangtek Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi yang dipublikasikan dalam jurnal Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan Vol. 12 No. 2 Desember 2013, diketahui bahwa penetrasi LHE yang tergolong lampu pendar di masyarakat meningkat lebih dari 20 kali di tahun 2011 dibandingkan dengan penetrasi di tahun 2000. Diperkirakan penetrasi LHE ini akan terus meningkat tajam sampai dengan tahun 2020 dan setelah tahun 2020 hingga tahun 2030 akan tetap terjadi peningkatan tetapi dengan nilai yang relatif kecil.
Di tahun 2020, laju penetrasi LHE diperkirakan sekitar 7,2 unit per rumah tangga dan di tahun 2030 menjadi sekitar 7,94 unit per rumah tangga. Peningkatan penjualan LHE juga diperkirakan terjadi hingga tahun 2030 yaitu sekitar 578 juta unit dan limbah LHE terbuang sekitar 570 juta unit.
Bagi beberapa pihak, bisa jadi ini menguntungkan. Namun tidak demikian bagi lingkungan secara keseluruhan. Jika mengacu pada data tersebut, secara kumulatif artinya limbah LHE yang terbuang hingga tahun 2030 diperkirakan sekitar 9.068 juta unit, dengan merkuri yang menyertainya sekitar 45 ton.
Pengelolaan limbah B3 harus baik dan benar sesuai prosedur
Bayangkan jika limbah tersebut tidak dikelola dengan baik? Bisa dipastikan logam berat maupun senyawa berbahaya yang terkandung di LHE, akan mempengaruhi kesehatan, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang.
“Kami tidak menginginkan hal itu terjadi. Itu sebabnya, kami mengeluarkan Ecofren yang merupakan solusi pengelolaan limbah dan sampah terpadu untuk segmen bisnis dan sarana komersial. Termasuk juga tentu limbah lampu,” ungkap Gufron Mahmud, Direktur PT Arah Environmental Indonesia.
Melalui Ecofren ini, PT Arah berinisiatif untuk mengedukasi dan membantu masyarakat dan para pelaku usaha dalam mengelola lampu yang juga tergolong limbah bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3) secara tepat dan sesuai dengan standar pengendalian pencemaran lingkungan hidup.
Langkah lain seperti penggunaan lampu jenis LED (Light Emitting Diode) pun tak dimungkiri bisa menjadi solusi. Lampu jenis ini sangat hemat energi dan lebih ramah terhadap lingkungan. Konsumsi listrik lampu LED pun hanya sebesar 20% dari lampu pijar biasa. Atau dengan kata lain, dapat berhemat 80% konsumsi listrik. Bahkan setelah dihitung, setelah 18 bulan pemakaian biaya penghematannya sudah seharga lampu itu sendiri (breakeven point).
Panas yang dihasilkan juga sangat minim, karena lampu LED lebih optimal dalam mengubah energi listrik menjadi cahaya. Hal ini membuat ruangan tetap nyaman, penggunaan pendingin ruangan (AC) pun dapat lebih dihemat.
Dari segi penggunaan, lampu LED memiliki usia rata-rata 50.000 -100.000 jam. Jika dihitung penggunaan rata-rata selama 12 jam sehari, maka lampu LED ini dapat bertahan lebih dari 10 tahun. Nah, bayangkan berapa besar penghematan yang bisa Anda lakukan?
Namun sayang, tambah Gufron, walaupun lampu LED hemat dan bebas bahan kimia berbahaya – timah dan merkuri, bahkan dari emisi ultra violet, nyatanya penggunaannya di masyarakat belumlah banyak.
“Masih banyak masyarakat yang belum bisa menggunakan karena harganya yang tergolong tinggi,” katanya.
Pelaporan Kegiatan Pengelolaan Limbah B3 – Manifest, Festronik dan SIMPEL
Sering kita dengar kata manifest setiap kali ada kegiatan pengelolaan limbah B3, namun mungkin masih banyak yang kurang faham tentang dokumen ini. Apakah manifest itu dan seperti apa bentuknya?
Dokumen Pengangkutan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (“B3”), atau Manifest
Merujuk kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan KEP-02/BAPEDAL/09/1995, definisi manifest adalah surat yang diberikan pada waktu limbah B3 diserahkan untuk diangkut dari lokasi penghasil ke tempat penyimpanan / pegumpulan / pengolahan / pemanfaatan / penimbunan yang berada di luar lokasi penghasil.
Manifest hanya bisa diterbitkan oleh perusahaan pengangkut atau transporter limbah B3 yang berijin. Manifest ini wajib didaftarkan oleh transporter limbah B3 di di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“KLHK”). Manifest wajib diisi oleh semua pihak yang terkait dengan kegiatan pengelolaan limbah B3 yang diangkut, yaitu penghasil, pengangkut, dan pengolah / pengumpul / pemanfaat / penimbun.
Manifest terdiri dari tiga bagian, di mana masing-masing bagian wajib diisi oleh pihak yang terkait dalam kegiatan pengelolaan limbah B3.
• No. 1-12 diisi oleh penghasil
• No. 13-22 diisi oleh transporter
• No. 23-26 diisi oleh pengolah / pengumpul / pemanfaat / penimbun
Di samping ini adalah contoh dari dokumen manifest.
Manifest Elektronik, atau Festronik
Seiring dengan berkembangnya kemampuan teknologi, KLHK terus berupaya untuk meningkatkan kualitas informasi yang didapat dari semua kegiatan pengelolaan limbah B3 dengan mengefisiensikan metode pengumpulan informasi tersebut. Salah satu wujud dari upaya ini adalah mengubah bentuk manifest dari dokumen fisik menjadi dokumen elektronik. Manifest elektronik ini disebut festronik.
Sama seperti manifest, festronik adalah dokumen pemantauan kegiatan pengelolaan limbah B3. Namun, festronik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan manifest fisik. Contohnya, festronik dapat diakses melalui semua perangkat eletronik yang memililki Web browser seperti Chrome, Mozilla, dan lainnya, sehingga pelaporan dan pemantauan dapat dilakukan dengan lebih mudah, lebih terintegrasi dan secara langsung. Semua pihak yang menggunakan festronik harus terdaftar di dalam sistem KLHK.
Dengan migrasi dari manifest ke festronik, beberapa keuntungan lain yang diharapkan adalah:
- Meningkatkan ketaatan dalam proses pengelolaan limbah B3;
- Memudahkan proses administrasi dan pelaporan kegiatan pengelolaan limbah B3;
- Mengurangi biaya manifest dan membuat proses pelaporan menjadi lebih ramah lingkungan.
Untuk mulai melakukan pelaporan dengan menggunakan festronik, penghasil dapat mendaftarkan [……]
Sistem Informasi Pelaporan Elektronik Lingkungan Hidup (“SIMPEL”)
SIMPEL atau Sistem Informasi Pelaporan Elektronik Lingkungan Hidup adalah sistem yang mengatur secara elektronik mekanisme pelaporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup, rencana pemantauan lingkungan hidup, pelaksanaan ijin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan penerapan baku mutu.
Sama seperti festronik, SIMPEL adalah transformasi dari pelaporan manual ke dalam bentuk pelaporan elektronik, sehingga pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemenuhan tanggung jawab ijin lingkungan hidup dapat melaporkan semua kegiatan pelaksanaan dan pemantauannya dengan mudah.
Jenis pelaporan yang terdapat di dalam SIMPEL adalah:
- Logbook dan neraca limbah B3 per triwulan
- Laporan UKL/UPL per semester
- Laporan Pengendalian Pencemaran Udara (atau PPU) per semester
- Laporan Pengendalian Pencematan Air (atau PPA) per semester
Pendaftaran akun SIMPEL dapat diakses melalui laman https://simpel.menlhk.go.id/2018/login