Memahami Siklus Hidup Styrofoam dan Plastik Sekali Pakai
Setiap kita membeli sesuatu, baik itu barang ataupun makanan, umumnya selalu dibungkus dengan plastik sekali pakai. Selain plastik, styrofoam juga tidak jarang menjadi pilihan utama para pemilik usaha kuliner untuk membungkus makanannya. Akibatnya pun jelas, jumlah sampah styrofoam dan plastik sekali pakai di Indonesia terus meningkat dan akhirnya berdampak buruk bagi lingkungan.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah berusaha menekan penggunaan plastik sekali pakai dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Namun, tampaknya masih banyak masyarakat yang belum benar-benar memperhatikan peraturan ini.
Menggunakan styrofoam dan plastik sekali pakai bukan hanya berdampak buruk bagi lingkungan, tetapi juga bagi kesehatan kita. Mengapa demikian? Untuk mengetahui hal tersebut, Anda harus mengetahui terlebih dahulu siklus hidup styrofoam dan plastik sekali pakai.
Plastik dan styrofoam butuh ratusan tahun hingga terurai
Plastik dan styrofoam merupakan material yang kerap digunakan sebagai pembungkus. Plastik bisa dibentuk dan dirancang menjadi sebuah pembungkus yang cantik, murah dan tahan air. Kepraktisan inilah yang menjadi alasan banyak orang tetap menggunakan plastik. Namun, ada harga yang harus dibayar dari kepraktisan yang kita dapatkan. Pasalnya, plastik membutuhkan ratusan tahun untuk terurai.
Kantong plastik yang sering Anda pakai ketika berbelanja membutuhkan setidaknya 20 tahun untuk bisa terurai. Botol plastik yang Anda dapatkan ketika membeli minuman di supermarket bahkan membutuhkan waktu lebih lama lagi, yaitu 450 tahun. Selain itu, sikat gigi plastik juga memakan waktu lebih lama, kurang lebih 500 tahun untuk bisa terurai.
Jika plastik membutuhkan puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai, styrofoam justru tidak bisa terurai, atau decompose, sama sekali. Bentuknya akan tetap sama meski terkubur di dalam tanah, tidak akan hancur maupun terurai.
Kenapa hal tersebut berbahaya bagi lingkungan?
Jenis material plastik sekali pakai dan styrofoam yang sulit terurai menjadi salah satu alasan mengapa kedua benda tersebut berbahaya bagi lingkungan hidup kita. Dilansir dari Kumparan.com, peneliti Jenna R. Jambeck dari Georgia University pada 2010 menyebutkan bahwa dari sekitar 275 juta ton sampah plastik yang tersebar di seluruh dunia, sebanyak 4,7 hingga 12,7 ton sampah tersebut berada di lautan.
Sampah plastik yang berada di lautan tentu dapat mengancam kehidupan biota laut. Ada risiko sampah tersebut akan melukai dan termakan oleh hewan seperti ikan, penyu, anjing laut, burung laut ataupun hewan lainnya di laut. Sedangkan sampah plastik yang dikumpulkan di darat dapat berpotensi mencemari udara dan tanah melalui pembakaran terbuka atau insinerasi.
Di sisi lain, World Health Organization (WHO) dan Environmental Protection Association (EPA) mengategorikan styrofoam sebagai benda yang memiliki kandungan tidak sehat. Bahan pembuatan styrofoam yang mengandung polistirena dan gas CFC (freon) dapat merusak lapisan ozon. Selain itu, pembuatan styrofoam juga dapat menimbulkan polusi udara berupa bau tidak sedap dan bisa mengganggu pernapasan.
Berpotensi berdampak buruk bagi kesehatan
Tidak hanya berdampak buruk bagi lingkungan hidup, styrofoam dan plastik sekali pakai juga berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Meski sulit untuk terurai, plastik sekali pakai tetap berpotensi untuk terpecah menjadi partikel-partikel kecil yang disebut mikroplastik. Mikroplastik hanya berukuran 0,3 sampai 0,5 millimeter. Partikel kecil ini berbahaya karena berisiko masuk ke dalam tubuh manusia. Dampak yang dapat ditimbulkan pada manusia akibat pencemaran sampah plastik antara lain berupa penyakit kanker, stroke, serta penyakit pernapasan. Tindakan pengelolaan sampah plastik dengan cara pembakaran akan menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2).
Styrofoam termasuk ke dalam jenis plastik atau polimer, bahan ini memiliki kandungan monomer, antara lain stirena, benzene dan formalin yang diketahui dapat memberi sejumlah dampak negatif bagi kesehatan tubuh. Semakin tinggi suhu makanan yang ada dalam styrofoam, semakin mudah zat stirena berpindah ke makanan. Hal ini bisa menimbulkan kerusakan pada sum-sum tulang belakang, masalah pada kelenjar tiroid, sampai anemia.
Apakah ini artinya kita tidak boleh lagi menggunakan plastik dan styrofoam?
Tidak dapat dipungkiri bahwa berhenti total menggunakan styrofoam dan plastik sangatlah sulit. Terlepas dari bahayanya, plastik dan styrofoam masih dibutuhkan untuk beberapa hal. Namun, kita bisa mengurangi penggunaannya, seperti dengan membawa kantong nonplastik ketika berbelanja atau menggunakan botol minum nonplastik ketika membeli minuman di kafe.
Selain itu, penting juga untuk mengolah sampah plastik dan styrofoam dengan baik melalui proses reuse, reduce, dan recycle. Kurangi pemakaian styrofoam (reduce), dan gunakan kembali atau daur ulang plastik sekali pakai (reuse, recycle). Jika Anda kewalahan atau tak sempat melakukan daur ulang plastik, Anda yang berlokasi di Jakarta Pusat, Selatan dan Barat bisa berlangganan layanan daur ulang sampah ARAH. Menerapkan sistem yang terintegrasi, ARAH akan membantu mengumpulkan dan mengelola sampah plastik Anda. Anda bisa menghubungi ARAH via Whatsapp melalui nomor +6281311116800 atau kunjungi arahenvironmental.com untuk informasi lebih lengkap.
Lepas total dari penggunaan styrofoam dan plastik sekali pakai memang cukup sulit dilakukan. Namun, bukan berarti kita tidak bisa melakukan apa pun untuk menekan dampak penggunaannya terhadap lingkungan dan kesehatan. Kurangi pemakaian styrofoam dan plastik sekali pakai. Pastikan setiap plastik yang telah Anda pakai didaur ulang kembali.